Di mana - mana sekarang banyak orang membicarakan tentang lingkungan hidup. Topik lingkungan hidup dijadikan bahan pembicaraan dalam berbagai seminar,simposium, dan diskusi di berbagai tempat mulai dari level sederhana sampai ke ruangan konvensi berharga mahal. Namun setelah itu hasilnya hanya cukup sebagai agenda dan bahan berita pada media cetak dan media elektronik yang bertajuk lingkungan hidup. Lingkungan hidup yang dibicarakan itu eksistensinya tak akan lebih baik kalau tidak diikuti oleh aksi perbaikan lingkungan di lapangan.
Kebiasaan melemparkan sampah nampaknya sudah menjadi budaya bangsa kita. Atau kalau tidak sudi dengan pernyataan ini, maka kita bisa membuat pernyataan bahwa membuang sampah adalah bagian dari gaya hidup kita sendiri. Kepedulian kita atas topik sampah baru sebatas kepedulian akan masalah kebersihan di lingkungan rumah semata-mata. Memang banyak orang dan kita sendiri yang sudah peduli untuk membersihkan dan merapikan rumah dua kali sehari dan merapikan lingkungan rumah sekali dalam seminggu. Namun sampahnya bagaimana ?
Banyak orang yang suka punya kebiasaan buruk mereka membuat dan menjaga lingkungan rumah sendiri menjadi bersih namun bersikap masa bodoh terhadap kebersihan lingkungan orang. Secara masa bodoh mereka menumpuk sampahnya ke lahan orang lain. Dan bila ada papan peringatan dengan tulisan ”dilarang membuang sampah di sini” maka mereka dengan senang hati menumpuk sampah ke tempat yang dimana mereka suka tanpa memikirkan efek selanjutnya terhadap alam dan terhadap orang lain.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan, seperti pernyataan di atas tadi, bahwa membuang sampah sembarangan sudah menjadi bagian dari gaya hidup orang desa dan orang kota. Untuk kondisi rumah tangga di desa, masalah membuang sampah dan penumpukan sampah tidak begitu masalah karena di sana mungkin masih ada lahan untuk menguburkan sampah. Namun untuk kebersihan lingkungan hidup seperti di tempat keramaian dan di sepanjang jalan. Sampah seolah-olah sudah menjadi dekorasi sepanjang pinggir jalan raya mengalahkan indahnya dekorasi alam dengan tanaman dan tumbuhan bunga yang warna warni.
Bagaimana dengan lingkungan perkotaan ? Adalah sesuatu yang memalukan untuk dideskripsikan. Kita akan sulit membedakan antara mana pasar dan mana kandang kerbau (maaf) kita sering susah payah kalau berjalan untuk mencari tempat yang akan kita injak. Karena lumpur bercampur kompos, sampah yang membusuk, sudah menjadi aspal di areal pasar. Begitu pula dengan para penghuni wilayah perkotaan, mereka itu, sekali lagi, adalah bisa jadi kita semua sebagai orang-orang yang sudah menjadikan membuang sampah sebagai gaya hidup. Di sana cukup banyak orang yang yang sudi mengotori dan mencemari lingkungan hidup perkotaan. Tidak percaya ? Coba lihat air yang mengalir dalam got dan sungai (di dalam kota), betapa kualitas airnya sudah memberi isyarat bahwa tidak ada lagi kehidupan biota air di dalamnya. Kemudian bagaimana dengan kualitas udara dan pohon-pohonan ?
Kebiasan membuang sampah yang sudah menjadi budaya jelek atau bahagian dari hidup kita, agaknya sulit untuk dikikis habis kalau ajakan untuk mengobah kebiasaan ini hanya ”bersifat ajakan atau cuma sekedar semboyan”. Himbauan, semboyan dan peringatan yang hanya tertulis pada sekeping papan. Seribu kali seminar dan diskusi untuk mengatasi masalah sampah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup akan tidak berarti apa-apa tanpa ada aksi dan contoh atau model dari figur- figur bagi generasi yang lebih muda.
Untuk bisa berubah ke arah yang baik atau ke arah yang kurang baik, maka model atau ”suri teladan” punya peran yang cukup penting. Kalau sekarang kita lihat gaya hidup dan prilaku anak-anak muda sekarang cenderung berubah dan tampak aneh dimata famili dan orangtua. Itu semua karena mereka terinspirasi dan mengikuti model yang mereka lihat- mungkin dalam media elektronik atau cetak dan bisa jadi figur yang mereka pungut langsung di jalanan raya sebagai panutan hidup. Syukur bila bila figur atau model yang mereka pungut tersebut bermental, berakhlak, berpribadi dan berwawasan baik.
Adalah contoh atau model untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan berasal dari pribadi orangtua, kakak, guru, pejabat pemerintah dan lain-lain. Pendek kata figur-figur yang demikian itu adalah kita semua.
Sering pelajaran yang diperoleh di sekolah kenyataannya berbeda dari fakta yang diperlihatkan oleh para figur model lewat prilaku dan gaya hidup mereka. Di sekolah kita diajarkan agar kita ”tidak boleh merokok dan harus hidup disiplin”. Tapi dalam kenyatan orang yang menjadi panutan hidup ini model bagi kehidupan kita melanggar aturan ini. Di sekolah ibu guru dan bapak guru mengajarkan agar kita harus membuang sampah pada tempatnya. Begitu pula dari buku bacaan yang kita baca di rumah agar kita mesti menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Namun fakta, ayah, ibu dan paman kita melempar sampah ke tengah jalan atau ke dalam got seenaknya.
Alangkah bingungnya anak anak yang dididik dan diajar agar bisa mencintai kebersihan dan menjaga lingkungan hidup ini. Namun dalam realita, mereka melihat bahwa begitu banyak orang dewasa, guru, orangtua dan tetangga mereka dan apalagi orang orang yang mereka anggap terdidik tidak berbuat seperti yang mereka baca dan mereka pelajari. Akhirnya mereka juga berbuat seperti hal demikian. Akhirnya adalah lazim bila lingkungan ini menjadi kotor dan tidak rapi karena tangan orang-orang mulai dari usia muda sampai berusia tua, dari orang biasa sampai orang yang menganggap dirinya terdidik dan elit dan dari orang orang desa sampai kepada orang orang kota. Melihat kebersihan di daerah daerah lain di Indonesia dan juga negara tetangga, mereka bisa menjadi negara yang bersih dan asri, ini karena di sana sudah ada sistem dan sistem kebersihan itu sudah berjalan.
Namun bila diamati secara seksama bahwa sistem kebersihan bisa terganggu oleh sikap dan kebiasaan orang orang- mereka bisa jadi anak sekolah, pejalan kaki, pegawai, buruh, pedagang dan lain-lain- melempar puntung rokok, kulit permen, bungkus makanan dan beraneka macam pembukus terbuat dari plastik, sampah atau material lainnya berjatuhan mengotori bumi. Dan orang lain merasa tidak peduli atas keberdaaan alam yang bersih berubah menjadi ”amburadul” ini. Jalan raya telah menjadi ”tong sampah yang terpanjang dan terbesar di dunia” karena pengguna jalan raya dan pemilik kendaraan bermotor tidak punya perasaan sensitif dan tega untuk mencemari kebersihan ini. Coba lihat sekarang bila anda berpergian. Arahkanlah pandangan dan kita akan menjumpai ribuan sampai jutaan keping sampah bertebaran mengganti indahnya tanaman bunga. Namun apakah masih ada perasaan risih mereka (dan kita) melihat kenyataan ini.
Bila perasaan sensitif sudah hilang atas masalah kebersihan. Maka adalah tugas kita, sebagai figur model, untuk kembali mengembalikan perasaan ”sense of sensitive” dan kita patut mengajak dan memberi contoh masyarakat ”groot grass level” dan juga masyarakat yang berpendidikan tinggi tapi berhati kurang sensitif untuk memiliki rasa peduli kepada lingkungan. Pada mulanya usaha untuk mengembalikan rasa peduli ini bisa bersifat”bottom up”. Dengan meminjam istilah ungkapan seorang Kyai Indonesia, yakni ”memulai usaha pelestarian lingkungan hidup” dan menjaga kebersihan dan ”tidak membuang sampah sembarangan” dari diri sendiri dan sekarang ini juga. Ini dimulai dari rumah tangga, sekolah, pemerintah dengan kantornya, pemilik usaha ekonomi dengan toko-tokonya dan para pemilik kendaraan dan pengguna jalan raya agar memahami bagaimana pentingnya makna kebersihan dan kebersihan alam itu sendiri.
Merenungkan kembali, seperti yang kita nyatakan di atas tadi, bahwa sungai yang dulu berair bening sekarang berubah menjadi sungai dengan tumpukan sampah. Pinggir jalan raya dan taman-taman yang dulu hijau oleh tumbuhan serta rerumputan dan sekarang kotor dan semraut oleh tebaran sampah botol minuman sampai sampah bungkus makanan. Itu semua disebabkan oleh perbuatan orang orang yang datang kesana dan para pengguna jalan. Dimana yang bertebaran itu bersumber dari sampah yang mereka bawa dari rumah atau sampah yang sumbernya dan dari toko-toko untuk kemudian mereka lemparkan ke bumi seenaknya. Maka figur yang amat bertanggung jawab atas penggotoran bumi ini adalah para pemilik toko, pemilik warung, pengguna jalan raya, pengusaha transportasi, orang tua dan guru dan orang-orang yang merasa dirinya sebagai orang terdidik.
Untuk mencegah agar setiap orang tidak membuang sampah seenaknya maka sangat diperlukan seribu sampai sejuta lagi spanduk yang bertuliskan ”jangan buang sampah” agar di pasang dan diukir di berbagai tempat mulai dari rumah, sekolah, kampus, pasar, persimpangan jalan, rumah ibadah, di desa dan di kota sampai ke tempat keramaian dan diikuti oleh perbuatan atau prilaku. Para figur harus melakukan agar bisa menjadi model bagi anak-anak dan generasi yang sedang sibuk menjadi figur atau model dalam usia indentifikasi diri mereka. Kemudian diperlukan pula agar kita menyediakan seribu sampai sejuta tong sampah. Namun jangan biarkan tong sampah itu tergeletak penuh dengan tumpukan sampah untuk jangka waktu lama apalagi bila menumpuk sampai sampai bertahun-tahun tindakan ”top down” amat dibutuhkan. Mimpi kita bisa terwujud untuk menjadikan daerah ini, negara ini agar bebas dari sampah lewat gerakan ”perang melawan sampah secara totalitas” sekarang ini juga dan mulai dari diri sendiri, sekolah sendiri, rumah sendiri, lingkungan sendiri.(team MGC)
Sabtu, 20 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar